-->

Kamis, 31 Desember 2009

Pendekatan Konseptual Dalam Pembelajran Matematika

Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika

oleh Erman Suherman

Latar Belakang Konon dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sekarang ini pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa pasif (datang, duduk, nonton, berlatih, ... , dan lupa). Guru memberitahukan konsep, siswa menerima bahan jadi. Demikian juga dalam latihan, dari tahun ke tahun soal yang diberikan adalah soal yang itu-itu juga tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan. Jarang sekali bertanya dengan menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana, atau kapan.

Untuk mengikuti pembelajaran di sekolah, kebanyakan siswa tidak siap terlebih dahulu dengan (minimal) membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan seperti membawa wadah kosong. Lebih parah lagi, mereka tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya nanti. Mereka memandang belajar adalah suatu kewajiban yang dipikul atas perintah orang tua, guru, atau lingkungannya. Belum memandang belajar sebagai suatu kebutuhan. Dampak dari kedua hal di atas, bagi siswa adalah tidak merasakan nikmatnya (enjoy) belajar, belajar hanya sekedar melaksanakan kewajiban malahan seringkali terlihat karena keterpaksaan. Ditambah lagi materi matematika susah (abstrak) dan seringkali dibuat susah, suasana pembelajaran matematika yang monoton, penuh ketegangan, banyak tugas, nilainya jelek lagi. Begitu pula, dengan kondisi di luar kelas, suasana rumah tidak nyaman, fasilitas belajar kurang, lingkungan kehidupannya tidak kondusif. Lengkaplah penunjang kegagalan belajar. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life). Selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam konsep matematika, dengan melalui tanya-jawab, diskusi, inkuiri, sehingga siswa dapat mengkontruksi konsep tersebut dalam pikirannya. Dengan demikian siswa belajar melalui doing math, hands on activity.

pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh-kembangnya matematika itu sendiri dan ilmu pengetahuan secara umum. Matematika tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui inkuiri, kontruksivisme, tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata.

Hakekat Pembelajaran Matematika Belajar matematika adalah suatu proses (aktivitas) berpikir disertai dengan afektif dan fisik. Suatu proses akan berjalan secara alami melalui tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih baik,, kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran. Dengan demikian dalam pembelajaran peristiwa salah yang dilakukan oleh siswa adalah suatu hal alami, tidak perlu disalahkan, justru seharusnya guru memberikan atensi karena ia telah melakukan (terlibat) pembelajaran. Guru jangan selalu berharap kepada siswa mengemukakan hal yang benar saja, apalagi selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan membuka toleransi dan menghargai setiap usaha siswa dalam belajar siswa tidak akan takut berbuat salah malahan akan tumbuh semangat untuk mencoba karena tidak takut lagi disalahkan. Karena belajar adalah suatu proses, belajar bukan sekedar menghapal konsep yang sudah jadi, akan tetapi belajar haruslah mengalami sendiri. Siswa mengkontruksi sendiri konsep secara bertahap, kemudian memberi makna konsep tersebut melalui penerapanya pada konsep lain, bidang studi lain, atau bahkan dalam kehidupan nyata yang dihadapinya. Dalam pelaksanaan pembelajaran lupakanlah tradisi guru pemain dan siswa penonton, ubahlah ke dalam situasi siswa pemain dan guru menjadi sutradara. Biarkanlah siswa mengembangkan potensiya (intelektual, minat, bakat) secara alamiah, atau bahkan berbuat kesalahan. Guru jangan pernah menyalahkan siswa, buanglah jauh-jauh prilaku tersebut, berusahalah agar siswa menyadari kesalahannya akan lebih baik dampaknya. Pendekatan Kontekstual Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat ke dalam konsep matematika yang dibahas. Pada pembelajaran kontekstual, sesuai dengan tumbuh-kembangnya ilmu pengetahuan, konsep dikonstruksi oleh siswa melalui proses tanya-jawab dalam bentuk diskusi. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajar konstruksivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan asesmen otentik (authentic assesment). Konstruksivisme meru landasan fislosofis dari CTL, yaitu bahwa ilmu pengetuahn itu pada hakekatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses yang tidak selalu mulus (trial and error). Ilmu pengetahuan bukanlah seprangkjat fakta yang siap diambil dan diingat, tapi harus dikonstruksi melalui pengalaman nyata. Dalam konstruksivisme proses lebih utama daripada hasil. Bertanya merupakan jiwa dalam pembelajaran, bertanya adalah cerminan dla berpikir. Melalui bertanya jendela ilmu pengetahuan menjadi terbuka, karena dengan bertanya bisa melakukan bimbingan, dorongan, evaluasi, atau. konfirmasi. Di samping itu dengan bertanya bisa mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan, mendekatkan hati, menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan memfokuskan perhatian. Ibarat suatu pepatah (hukum keseimbangan dalam kehidupan), banyak memberi maka akan banyak menerima, demikian pula jika yang mungkin tidak akan diterima hanya dengan informnasi sepihak dari guru. Menemukan ad proses yang penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak siswa dibandingkan hanya melalui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan berpikir mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis,kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan terlatih yang pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Inkuiri mempunyai siklus observasi, bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi. Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasi belaja diperoleh dari hasil kerjasama dfengan orang lain, baik melalui perorangan maupun kelompok orang, dari dalam kelas, sekitar kelas, di luar kelas, di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, ataupun di luar sana. Dalam pelaksanaan CTL guru disarankan untuk membentuk kelompok belajar agar siswa membentuk masyarakat belajar untuk saling berbagi, membantu, mendorong, menghargai, atau membantu. Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan CTL unt ditiru, diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya model untuk dicontoh biasanya konsep akan lebih mudah dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Pemodelan dalam matematika, misalnya mempelajari contoh penyelesaian soal, penggunaan alat peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu bacaan, atau cara membuat skema konsep. Pemodelan tidak selalu oleh guru, bisa juga oleh siswa atau media lainnya. Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk evaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rangkuman, meneliti dan memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (learning how to learn), dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh kegiatan refleksi. Asesmen otentik adalah penilaian yang dila secara komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan. Hakekat penilaian yang diwujudkan berupa nilai merupakan penilaian atas usaha siswa yang berkenaan dengan pembelajaran, bukan merupakan hukuman. Penilaian otentik semestinya dilakukan dari berbagai aspek dan metode sehingga objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai aktivitas dan motivasi, wawancara atau angket untuk menilai aspek afektif, porto folio untuk menilai seleruh hasil kerja siswa (artefak), tes untuk menilai tingkat peguasaan siswa terhadap materi bahan ajar. Kata kunci asesmen otentik adalah menjawab pertanyaan apakah siswa belajar, bagaimana usahanya ? bukan pada pertanyaan apa yang sudah dikuasai siswa ? Dari ketujuh komponen pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata (real world), berpikir tingkat tinggi, aktivitas siswa (doing math), aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif, dan pembentukan manusiayang memiliki akal dan nurani. Perbedaan hakiki rencana pemb pendekatan kontekstual dengan rencana pembelajaran konvensional terletak pada tujuan dan kegiatan pembelajaran. Pada pendekatan kontekstual tujuan meliputi kognitif, afektif, dan konatif sedangkan pada kegiatan pembelajaran dirinci menjadi skenario pembelajaran yang merinci secara sistematik kegiatan siswa dan guru. Skenario adalah tata urutan prilaku siswa dan guru yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Cord. 2001). What is Contextual Learning. World Wide Internet Publishing. Texas :Waco. Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Depdiknas. Ditdik SLTP (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Pembelajaran dan Pengejaran Kontekstual. Jakarta : Depdiknas. Kasihani, K., dkk. (2002). Pembelajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning). Malang : UNM. The Department of Mathematics Education University of Georgia (2001). Contextual Teaching and Learning in Mathematics; Rationale. Georgia ; University of Georgia. Washington State Consortium for CTL (2001). Contextual Teaching and Learning. Washington : STW.

Baca Selengkapnya. . . .

Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Tentang jasa Akuntan Publik

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Jasa Akuntan Publik NOMOR: 17/PMK.01/2008.

Peraturan Umum
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Akuntan adalah seseorang yang berhak menyandang gelar atau sebutan akuntan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
3. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP, adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin dari Menteri sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam memberikan jasanya.
4. Cabang Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut Cabang KAP adalah kantor yang dibuka oleh KAP untuk memberikan jasa Akuntan Publik yang dipimpin oleh salah satu Rekan KAP yang bersangkutan.
5. Kantor Akuntan Publik Asing atau disingkat KAPA adalah badan usaha jasa profesi di luar negeri yang memiliki izin dari otoritas di negara yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan usaha paling sedikit di bidang audit umum atas laporan keuangan.
6. Organisasi Audit Asing atau disingkat OAA adalah organisasi di luar negeri, yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara yang bersangkutan, yang anggotanya terdiri dari badan usaha jasa profesi yang melakukan kegiatan usaha paling sedikit di bidang audit umum atas laporan keuangan.

7. Atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan seseorang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan.
8. Laporan Auditor Independen adalah laporan yang ditandatangani oleh Akuntan Publik yang memuat pernyataan pendapat atau pertimbangan Akuntan Publik tentang apakah asersi suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang ditetapkan.
9. Institut Akuntan Publik Indonesia yang selanjutnya disebut IAPI adalah Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang diakui Pemerintah.
10. Pemimpin atau Pemimpin Rekan adalah Akuntan Publik yang bertindak sebagai pemimpin pada KAP.
11. Pemimpin Cabang adalah Akuntan Publik yang bertindak sebagai pemimpin pada Cabang KAP.
12. Rekan adalah Akuntan Publik atau seseorang yang bertindak sebagai sekutu pada KAP berbentuk usaha persekutuan.
13. Domisili adalah tempat kedudukan Akuntan Publik, KAP atau Cabang KAP dalam suatu wilayah Kota atau Kabupaten.
14. Standar Profesional Akuntan Publik yang selanjutnya disebut SPAP adalah panduan teknis yang wajib dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam memberikan jasanya.
15. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
16. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan.
17. Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai atau disingkat PPAJP adalah Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Sekretariat Jenderal, Departemen Keuangan.
18. Kepala Pusat adalah Kepala PPAJP.

untuk selengkapnya bisa di download di http://www.ziddu.com/download/7965474/PeraturanMenteriKeuangantentangJasaAkuntanPublik.pdf.html

Baca Selengkapnya. . . .

Rabu, 30 Desember 2009

Analisa Marketable Surplus Beras (Studi Kasus di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong)

Analisa Marketable Surplus Beras
(Studi Kasus di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara
Kabupaten Lebong)

Marketable Surplus of Rice Analysis
(Case Study In Dusun Muara Aman, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten
Lebong)

Nusril, Hadi Sofyan Harahap dan Ketut Sukiyono
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jln. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A
ksukiyono@yahoo.com

ABSTRACT
Food needs increase along with the increasing of population. This condition affects agricultural sector
especially paddy becoming significant. The geographical situation and increasing food needs lead to Lebong
Regency government to focus their economic development in paddy sector. This research is aimed at estimating
marketable surplus of rice,examining factors that influencing marketable surplus. This research is conducted in
Dusun Muara Aman village, North Lebong sub-district Lebong district. Fifty two samples are selected using
stratified random sampling method. To analyse factor influencing marketable surplus, multiple regression model
is used and estimated using Ordinary Least Square method. The result show that the percentage marketable
surplus of rice in Dusun Muara Aman is 46% from total output. Factors influencing marketable surplus of rice
in Dusun Muara Aman are total output, off-farms income, member of household, rice price, land ownership,
payment method of fertilize urea and main household income.

PENDAHULUAN

Propinsi Bengkulu memiliki luas areal petanian yang ditanami padi 105.548 ha dengan produksi sebesar 413.475 ton pada tahun 2003. Selain pembangunan sektor pertanian ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tani dan memenuhi kebutuhan pangan, sektor ini juga diharapkan mampu menyerap tenaga kerja di Begkulu yang pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 740.148 jiwa (BPS, 2003). Sebagai salah satu kabupaten yang baru, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Lebong menitikberatkan sektor perekonomian daerahnya pada pembangunan pertanian, khususnya tanaman padi. Pemerintah daerah merencanakan kabupaten Lebong sebagai daerah lumbung padi di Propinsi Bengkulu pada lima tahun ke depan.

(BPIP Lebong Utara, 2004). Kebijakan ini diambil berdasarkan pada potensi kabupaten ini dimana tahun 2004 adalah 9.329 ha dengan produksi 42.350 ton. Pengembangan komoditi padi di daerah ini juga didukung oleh tersedianya sarana irigasi baik teknis, setengah teknis maupun irigasi sederhana. Secara rinci, luas irigasi teknis adalah 1.586 ha, setengah teknis 2.665 ha, sederhana 5.003 ha dan usahatani padi rawa seluas 1.075 ha. Dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa jumlah produksi dari petani tidak semuanya dapat dijual ke pasar (Suryanarayana, 1995). Petani masih mengeluarkan hasil produksinya untuk kebutuhan pangan keluarga, upah-upah tenaga kerja yang berbentuk natura
(padi/beras) atau dikeluarkan untuk sewa lahan. Kelebihan produksi padi yang dapat dipasarkan

Nusril, Hadi Sofyan Harahap dan Ketut Sukiyono : Analisa marketable surplus beras disebut marketable surplus. Untuk itu dalam Di mana : menentukan kebijakan di bidang pangan, perlu m = Marketable Surplus ( %) dilihat seberapa besar jumlah marketable surplus X1 = Total produksi beras (kg MT-1)

beras suatu daerah sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan pangan di daerah tersebut. Penelitian ini mencoba menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi padi yang dapat dipasarkan di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) yaitu di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong dengan alasan lokasi ini merupakan salah satu daerah sentra produksi padi di daerah Lebong. Pertanian di desa ini sudah termasuk maju dibanding daerah lain di Kabupaten Lebong dengan sistem pengairan irigasi teknis dan dengan tingkat produktivitas padi sawah yang mencapai 4,8 ton ha-1. Data pada penelitian ini bersumber dari data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan 52 petani sampel dan pedagang sampel berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Pengambilan petani sampel dilakukan dengan metode Stratified Random Sampling dimana populasi petani dikelompokkan ke dalam tiga strata berdasarkan luas lahan. Jumlah masing-masing sampel pada tiap strata adalah strata I dengan luas lahan kurang dari 0,89 Ha sebanyak 14 sampel, strata II luas lahan dari 0,89 – 1,53 Ha sebanyak 28 sampel serta 10 petani contoh untuk strata III luas lahan di atas 1,53 Ha. Analisis data marketable surplus dilakukan dengan analisis data kuantitatif yaitu menganalisis data yang diperoleh di lapangan dengan menggunakan angka-angka atau perhitungan statistik. Analisis marketable surplus padi digunakan persamaan linear berganda dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square) yang dirumuskan.
b X b X −b X 
m a01 i 2 2 3 3
b4X4a1D1a2D2a3D3e

X2 = Jumlah penerimaan luar usahatani padi (rupiah MT-1)
X3 = Jumlah anggota rumah tangga (Orang)
X4 = Harga beras (Rp kg-1)
D1 = Status Kepemilikan Lahan
D1= 1, kalau pemilik
= 0, kalau Non Pemilik
D2 = Pembayaran pupuk urea
D2 = 0, kalau pembayaran dengan uang
= 1, kalau pembayaran natura
D3 = Penerimaan utama keluarga
D3 = 1, kalau Penerimaan utama dari usahatani
= 0, jika Penerimaan luar usahatani
aibi = Koefisien regresi
a0 = Konstanta
e = Variabel pengganggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Hasil Penelitian di Desa Dusun Muara Aman menunjukkan rata-rata umur petani 43,73 tahun dengan interval umur antara 25 sampai 58 tahun. Persentase terbesar dari umur responden usahatani padi di daerah penelitian terdapat pada kelompok umur antara 46 sampai 51 tahun yaitu sebesar 28,85% dan persentase terendah terdapat pada kelompok umur antara 25 sampai 33 tahun yaitu sebesar 15,39%. Persentase tersebut menunjukkan petani di Desa Dusun Muara Aman berada dalam usia produktif. Sebagian besar dari petani telah menamatkan Pendidikan SD yaitu 40,38%.
Dari data ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan petani di daerah penelitian masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani disebabkan karena kondisi ekonomi masa lalu yang tidak mendukung untuk mendapat kan pendidikan yang lebih lama. Namun dari data yang diperoleh di lapangan menjelaskan bahwa tidak ditemukan petani yang buta huruf karena semua responden pernah duduk di bangku sekolah. Lebih lanjut, survai mendapatkan rata-rata jumlah tanggungan petani di daerah penelitian adalah sebanyak 4,33 orang dengan interval antara 2 sampai 8 orang. Persentase jumlah anggota keluarga petani terbesar antara 3 sampai 4 orang, yakni 75%, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah rata-rata anggota keluarga di daerah penelian relatif besar. Hasil penelitian juga didapatkan bahwa rata-rata luas lahan yang diusahakan petani di daerah penelitian adalah 1,17 ha dengan interval antara 0,25 sampai 3 ha. Secara teori luas lahan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Luas lahan di daerah penelitian sudah lebih luas dari luas rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia yaitu 0,65 ha (Firmansyah, 1999). Sebagian petani memiliki lahan 3 ha namun masih banyak juga petani yang memiliki lahan yang sempit. Hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki petani kebanyakan lahan warisan yang akan semakin sempit kepemilikan nya seiring pertumbuhan jumlah penduduk Selain dari usahatani padi, petani juga memiliki penghasilan tambahan yaitu dari kebun. Di Desa Dusun Muara Aman kebanyakan kebun ditanami kopi, karet dan nilam. Rata-rata kepemilikan kebun dari responden adalah 0,36 ha dan luas lahan kebun terbesar ada pada interval 0 – 0,4 ha yaitu 86,54%. Persentase jumlah lahan kebun yang sempit dimungkinkan karena sumber langsung (riil) lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah rata-rata produksi, konsumsi, bibit, upah giling, pembayaran pupuk urea, sewa lahan, zakat dan marketable surplus secara non riil (Tabel 1). Data ini disajikan hanya untuk membandingkan rata-rata marketable surplus beras di Desa Dusun Muara Aman jika dianggap seluruh petani responden membayar sewa lahan, membayar zakat, pembayaran pupuk urea, dan bibit dengan natura. Di samping itu, sebagai pembanding Tabel 1 juga menyajikan alokasi produksi riil hal ini didasari bahwa kondisi petani yang tidak seluruhnya mengalokasikan hasil produksinya untuk kepentingan yang sama dan Dilihat dari sisi produksi, rata-rata produksi padi sebanyak 5.431,44 Kg UT-1 atau 3.530,44 Kg beras UT-1 dengan rendemen 65%. Rendemen 65% diperoleh dari informasi petani dan pengusaha Rice Milling Unit yang ada di desa tersebut. Dengan rata-rata luas lahan garapan responden 1,17 ha, maka diperoleh rata-rata produksi usahatani padi di Desa Dusun Muara Aman sebesar 4.642,26 kg ha-1 . Rata-rata produksi di Desa Dusun Muara Aman pada musim tanam 2005 masih berada di bawah standar produksi di pulau Jawa yaitu 5.730 kg ha- penghasilan utama keluarga responden adalah 1 (BPS, 2000). Hal ini mungkin disebabkan usahatani padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengalaman petani padi dalam berusahatani adalah 16,75 tahun dengan interval antara 3 sampai 33 tahun. Persentase pengalaman berusahatani padi pada interval antara 3 sampai 12 tahun adalah sebesar 44,23%. Jadi dapat disimpulkan bahwa petani di daerah penelitian sudah cukup berpengalaman.
Produksi dan alokasi penggunaannya Jumlah rata-rata produksi dan alokasi penggunaan pada usahatani padi di Desa Dusun Muara Aman berdasarkan jumlah pengeluaran yang semestinya dikeluarkan petani baik langsung maupun tidak langsung (non riil) dan pengeluaran yang benar-benar dikeluarkan petani secara penggunaan input-input produksi yang belumefektif, seperti ; penggunaan pupuk, bibit, dan obat-obatansecara bersama-sama.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari seluruh jumlah produksi rata-rata petani mengalokasikannya untuk konsumsi sebesar 15,53%. Jumlah produksi yang dialokasikan oleh petani untuk konsumsi disiapkan untuk persediaan konsumsi dalam setahun. Hal ini dikarenakan kebiasaan petani pada tahun sebelumnya, dimana melakukan kegiatan usahatani padi dilakukan sekali dalam setahun. Pada tahun ini sebagian petani mencoba frekuensi penanaman padi menjadi dua kali dalam setahun, namun petani masih menyiapkan alokasi produksi untuk konsumsi dalam setahun karena takut gagal panen pada musim tanam berikutnya.

Jenis padi yang ditanam oleh petani adalah jenis IR 64 dengan pertimbangan jenis tersebut cepat masa produksinya yaitu kurang lebih 110 hari, selain rasanya enak dan lunak. Jumlah produksi yang dialokasikan secara riil untuk bibit adalah 1,31% sedangkan alokasi bibit secara non riil sebesar 1,37%. Perbedaan antara alokasi bibit secara riil dan non riil ini dikarenakan 7,69% petani tidak mengalokasikan hasil produksinya untuk bibit pada musim tanam berikutnya, namun mengalokasikan keuangan keluarga dari hasil penjualan beras atau dari penerimaan luar
keluarga. Kebiasaan di Kabupaten Lebong pada saat panen padi dilakukan dengan borongan. Tidak terkecuali di Desa Dusun Muara Aman, sistem pemanenan padi dilakukan dengan borongan dengan pembagian hasil panen 6:1, maksudnya dalam 6 karung disisihkan 1 karung untuk upah panen dan biaya mesin perontok (Treser). Jumlah produksi yang dialokasikan untuk upah panen dan treser rata-rata sebesar 16,67% dari jumlah produksi. Alokasi produksi yang dibayarkan untuk upah panen dantreser sudah termasuk semua biaya panen. Untuk upah giling biasanya RMU menetapkan bagi hasil 15 :1 artinya setiap hasil giling padi 15 kaleng, dikeluarkan upah giling 1 kaleng. Jumlah alokasi produksi usahatani padi yang digunakan untuk upah giling rata-rata adalah 362,10 kg padi atau 235,36 kg beras. Biasanya masing-masing RMU menawarkan fasilitas bagi konsumennya berupa penyediaan gudang dan tempat penjemuran secara gratis. Selain menawarkan jasa penggilingan, RMU juga terkadang membeli beras hasil produksi petani. Lebih lanjut dari penelitian didapatkan bahwa jumlah petani yang mengalokasikan produksi untuk pembayaran pupuk urea sebanyak 34,61%. Pedagang saprodi yang ada di lokasi penelitian menawarkan paket penjualan pupuk Urea secara utang dengan kesepakatan pada saat panen petani membayar pupuk urea tersebut dengan beras. Satu karung pupuk urea (50 kg) dibayar dengan beras sebesar 3,5 kaleng (56 kg) pada saat panen. Besarnya alokasi produksi untuk pembayaran pupuk urea di daerah penelitian secara riil adalah 1,22% dari total produksi dan 3,37 % untuk non riil. Alokasi produksi riil rata- rata yang digunakan untuk sewa lahan pada penelitian sebesar 4,26%. Untuk sewa lahan di Desa Dusun Muara Aman berlaku sistem bagi hasil dengan perbandingan 3 :1 Artinya dalam tiga karung produksi padi dikeluarkan sewa lahan 1 karung. Hasil penelitian menunjukkan petani padi di Desa Dusun Muara Aman terdapat 13,46% petani penyewa dan 86,54% petani pemilik. Untuk analisa non riil, 33,33% produksi padi dialokasi kan untuk sewa lahan. Persentase non riil ini cukup tinggi dikarenakan seluruh responden dianggap mengeluarkan biaya sewa lahan dengan natura. Dari perbandingan ini jelas terlihat pengaruh antara petani penyewa dan petani pemilik dalam hal pengalokasian produksi.

Hasil penelitian menunjukkan 73,07% petani mengalokasikan hasil produksinya untuk zakat. Zakat padi dibayar pada saat panen dengan perbandingan 10 : 1, artinya dalam 10 karung padi dikeluarkan zakatnya 1 karung padi. Total produksi yang dialokasikan untuk zakat rata-rata sebesar 8,30%. Sementara pada aloaksi produksi non riil terlihat persentase zakat adalah 10% dikeluarkan untuk zakat. Setelah petani mengeluarkan hasil produksi untuk kebutuhan konsumsi, upah yang bersifat natura dan zakat maka sisa dari hasil produksi tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Marketable surplus beras rill di Desa Dusun Muara Aman musim tanamMaret 2005 adalah 84.527,13 kg beras dengan rata-rata 1.625,52 kg UT-1. Dari hasil tersebut diperoleh persentase marketable surplus beras di Desa Dusun Muara Aman adalah 46,04% sementara 53,96% digunakan untuk konsumsi, bibit, upah panen dan treser, upah giling, pembayaran pupuk dan zakat. Rata-rata marketable surplus berdasarkan alokasi secara non riil adalah sebesar 709,43 kg padi UT-1 atau 461,13 kg beras UT-1. Rata-rata ini jauh lebih rendah dari alokasi produksi riil. Jadi jelas terlihat pembagian hasil produksi mempengaruhi jumlah marketable surplus. Faktor yang Mempengaruhi Marketable Surplus Beras Dugaan model regresi marketable surplus padi digunakan data pengeluaran riil sesuai dengan konsep dasar marketable surplus yaitu jumlah produksi yang dapat dipasarkan setelah dikeluarkan alokasi produksi yang benar-benar dikeluarkan petani dalam bentuk natura. Hasil estimasi model marketable surplus beras di Desa Dusun Muara Aman dapat dilihat pada Tabel 2.
Koefisien determinasi (R2) dari model penelitian marketable surplus beras di Desa Dusun Muara Aman adalah 0,85 (Tabel 2). Nilai ini menunjukkan bahwa variabel jumlah produksi beras yang dapat dipasarkan dijelaskan oleh variabel total produksi, penerimaan luar usahatani padi, jumlah anggota rumah tangga, harga beras, status kepemilikan lahan, pembayaran pupuk urea dan penerimaan utama keluarga sebesar 85%. Sedangkan 15% lagi dijelaskan oleh variabel yang tidak dimasukkan dalam model ini, diduga seperti harga-harga barang lain kebutuhan petani selain beras, luas lahan dan persentase pembagian hasil produksi padi. Untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat digunakan uji F. Hasil analisa didapatkan bahwa besarnya Fhitung(35,564) lebih besar dari Ftabel (2,95) pada =0,01. Artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel terikat pada taraf keyakinan 99%. Dari hasil estimasi dapat dinyatakan bahwa model yang digunakan pada penelitian ini sudah cukup baik untuk digunakan dalam menganalisa marketable surplus di daerah penelitian. Hasil estimasi model marketable surplus beras menunjukkan bahwa variabel penerimaan luar usahatani dan pembayaran pupuk urea masing-masing tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf keyakinan 95%. Sedangkan variabel total produksi, jumlah anggota rumah tangga, harga beras, status kepemilikan lahan dan penerimaan utama keluarga masing-masing berpengaruh nyata terhadap marketable surplus. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai t hitung peubah total produksi lebih besar dari t tabel pada taraf keyakinan 95%. Hasil ini menyimpulkan bahwa total produksi yang memiliki tanda positif berpengaruh nyata terhadap perubahan marketable surplus beras sesuai dengan harapan yang melatar belakangi penyusunan model ini. Menurut Khan dan Chowhuryn (1962) dalam Mubyarto (1970) hasil penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa penambahan satu unit produksi akan menambah tiga persepuluh unit marketable surplus. Hal senada juga diutarakan oleh Lim (1979), penelitian di Malaysia menunjuk kan perubahan produksi berpengaruh positif terhadap marketable surplus beras. Hasil penelitian ini cukup beralasan karena, semakin besar jumlah produksi yang dimiliki petani maka semakin besar kesempatan petani untuk menjual hasil produksi nya. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Peerlings (2003) di Cina menyatakan bahwa total produksi mempunyai hubungan yang searah dengan marketable surplus. Demikian juga penelitian oleh Arteri (2003) di India menyimpul kan hal yang sama.


Nusril, Hadi Sofyan Harahap dan Ketut Sukiyono : Analisa marketable surplus beras


Tabel 2. Hasil estimasi model marketable surplus beras di Desa Dusun Muara Aman Kecamatan Lebong Utara
Kabupaten Lebong Tahun 2005

No Variabel Bebas
1 Total Produksi (X1)

Koefisien Regresi Std Error
1,2025E-03 6,729E-04

thitung
1,791**

2 Penerimaan Luar Usahatani Padi (X2)
3 Jumlah Anggota Rumah Tangga (X3)
4 Harga Beras (X4)
5 Status Kepemilikan Lahan (D1)
6 Pembayaran Pupuk (D2)
7 Penerimaan Utama Keluarga (D3)
Intersep
R2
Fhitung
ttabel (5%,44)
ttabel (1%,44)
Ftabel (5%; 7,44)

9,051E-04
-3,08
0,004857
28,39
0,82
14,90
-90,03
0,85
35,564***
1,684
2,023
2,14

1,343E-03
0,75
0,001026
3,16
2,24
4,13

0,674
-4,124***
4,735***
8,999***
0,366
3,61***

Keterangan : ** Signifikan pada = 0,05; *** Signifikan pada = 0,01

Variabel penerimaan luar usahatani padi (X2) memiliki tanda positif dengan marketable surplus beras, namun variabel ini tidak berpengaruh nyata pada taraf keyakinan 95%. Tanda variabel penerimaan luar usahatani pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dubey (1963) dalam Mubyarto (1989) di India yang menyatakan jumlah penerimaan luar usahatani berpengaruh positif terhadap marketable surplus, namun dilihat dari uji statistika hasil penelitian ini bertentangan. Hal ini dimungkinkan karena petani lebih banyak memperoleh penerimaan dari hasil usahatani padi dibandingkan penerimaan dari luar usahatani padi. Rata-rata penerimaan luar usahatani padi petani sebesar Rp.1.310.000,- per 4 bulan, sedangkan
rata-rata penerimaan usahatani padi sebesar Rp. 3.654.844,67 per musim tanam. Lebih jauh, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan luar usahatani masih lebih kecil perannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dibanding dengan penerimaan usahatani padi. Semakin banyak penerimaan yang diperoleh petani di luar usahatani pada saat musim tanam memungkinkan petani dapat menjual hasil produksinya lebih banyak karena upah-upah yang dibutuhkan dalam kegiatan usahatani dapat dibayar secara cash seperti pembayaran pupuk urea. Mubyarto (1970) mengatakan semakin kaya seorang petani maka semakin banyak jumlah padi yang dapat dijual oleh petani. Selain itu penelitian Rao (1961) dalam Mubyarto (1970) di India menyatakan bahwa produksi padi yang dapat dijual berasal dari petani-petani kaya. Penelitian Lim (1979) di Malaysia juga memasukkan penerimaan luar usahatani pada model persamaannya meski hasil yang diperoleh positif namun tidak berpengaruh nyata. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka semakin banyak jumlah kebutuhan konsumsi akan beras sehingga jumlah beras yang dapat dipasarkan akan semakin kecil. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil uji t bahwa koefisien jumlah anggota rumah tangga (X3) memiliki hubungan yang negatif dan nyata dengan marketable surplus dimana t hitung lebih kecil dari nilai t tabel pada taraf keyakinan 99%. Jumlah rumah tangga disini diartikan sebagai kumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah dan kebutuhan konsumsinya diatasi secara bersama-sama. Sedangkan hasil penelitian Misra dan Sinha (1961) dalam Mubyarto (1970) serta Muis (1990) menyatakan jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan yang negatif namun secara statistika tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada daerah penelitian belum memiliki penghasilan luar usahatani yang dapat membantu perekonomian keluarga. Jadi semua anggota keluarga masih tergantung pada penghasilan yang berasal dari kegiatan usahatani. Somda et al. (2005) mengatakan bahwa jumlah keluarga akan berimplikasi pada semakin tingginya konsumsi dalam rumah tangga pada akhirnya akan mengurangi marketable surplus dari susu yang diproduksi rumah tangga. Semakin tinggi harga beras pada saat panen akan memacu petani menjual hasil produksinya dalam jumlah yang besar. Mubyarto (1970) menyatakan faktor yang mempengaruhi besarnya marketable surplus beras salah satunya adalah harga beras itu sendiri. Kishna (1961) dalam Mubyarto (1970) memasukkan variabel harga dalam model marketable surplus beras dan memperoleh hasil yang positif hubungan antara harga dan marketable surplus. Hasil yang sama juga didapatkan pada peubah sewa lahan.
Pembayaran sewa lahan yang bersifat natura menyebabkan petani yang menyewa lahan mengeluarkan sebagian hasil produksinya untuk sewa lahan. Sebaliknya, jika petani memiliki lahan sendiri maka kesempatan petani untuk menjual beras akan semakin banyak karena tidak perlu mengeluarkan alokasi untuk sewa lahan. Untuk mengatasi masalah finansial petani dalam pengadaan pupuk urea, pedagang saprodi di daerah setempat menawarkan jasa berupa pembayaran pupuk urea bersifat natura yang dibayar pada saat panen. Dari hasil penelitian menunjukkan pembayaran pupuk urea memiliki hubungan yang positif dengan marketable surplus. Semakin banyak petani yang membayar pupuk urea dengan uang cash, maka semakin banyak jumlah produksi yang dapat dipasarkan. Hal ini dimungkinkan jumlah beras yang dikeluarkan untuk pupuk urea tidak begitu banyak jumlahnya.
Berdasarkan uji t, variabel dummy penerimaan utama keluarga (D3) memiliki hubungan positif dan nyata pada taraf keyakinan 95% , dimana t hitung (3,61) lebih besar dari t tabel (1,684). Ini berarti, semakin banyak petani yang sumber penerimaan utama keluarganya berasal dari usahatani padi, maka semakin banyak jumlah padi yang dapat dipasarkan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian usahatani padi di Desa Dusun Muara Aman pada musim tanam Maret 2005 dapat diambil kesimpulan bahwa persentase marketable surplus beras adalah 46,04% dari hasil produksi. Hasil ini diperoleh setelah total produksi yang dihasilkan oleh petani dialokasikan untuk berbagai keperluan termasuk untuk konsumsi rumah tangga, zakat dan pembayaran input yang digunakan oleh petani untuk berusahatani padi. Jumlah yang dapat diproduksi ini relatif besar sehingga apabila potensi ini dikembangkan melalui peningkatan intensitas tanam menjadi lebih dari sekali setahun tidak mustahil jika daerah ini dapat menjadi lumbung padi di propinsi Bengkulu. Upaya ini tentunya akan dapat dicapai manakala pemerintah juga menyedia kan sarana dan prasarana produksi seperti perbaikan irigasi dan peningkatan pelayanan penyuluhan pertanian . Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi marketable surplus beras adalah; total produksi, penerimaan luar usahatani, jumlah anggota rumah tangga, harga beras, status kepemilikan lahan, pembayaran pupuk urea dan penerimaan utama keluarga. Implikasi kebijakan dari temuan ini adalah perlunya pemerintah menyediakan kredit usahatani yang dapat dengan mudah diakses oleh petani. Kredit usahatani ini dimaksudkan untuk tidak menjebak petani ke dalam sistem barter dalam pengadaan input khususnya pupuk Urea. Penyediaan kredit usahatani secara tepat waktu dan tepat jumlah juga akan menghindarkan petani dari sistem ijon dalam pemasaran paddy atau berasnya. Lebih jauh, perlunya pemberdayaan kelembagaan pemasaran sehingga terjadi interaksi yang saling menguntung kan antara petani dan pedagang akan dapat meningkatkan pendapatan petani.

DAFTAR PUSTAKA
Atteri. 2003. Marketable surplus of rice and wheat and benefits of storage to the farmer in India. Jurnal PAMA, 44 (1): 27 – 31.
BPS 2000. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Chen and Peerling. 2003. Effects of Deregulation of the Rice Market on Farm Price in China:
a Marketing Channel Model.
Agricultural Economics an Rural Policy Group.
Wegeningen University, Netherland.
Firmansyah. 1999. Menatap Masa Depan Petani.
Dinamika Petani; Edisi Juli-Agustus 1999, Jakarta
Lim, D. 1979. Marketable Surplus Function of Rice In Malaysia. Universitas Malaya, Kuala Lumpur.
Mubyarto. 1970. Marketable Surplus Beras di Indonesia: Sebuah Studi di Djawa dan Madura. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ilmu Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta
Marketable Suplay Beras di desa Sidondo I Kecamatan Sisi Biromaru Kabupaten Donggala. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Hassanudin, Makassar.
Somda, J; T. Eric; and K. Mulumba, 2005.
Transaction costs and the marketable surplus of milk in smallholder farming systems of The Gambia.
Outlook on Agriculture, 34 (3): 189–197.
Suryanarayana, M.H. 1995. PDS: beyond Implicit Subsidy and Urban Bias – the indian Experience. Food Policy. 20 (4): 259 – 278.

Baca Selengkapnya. . . .